Selasa, 11 Oktober 2011

HUKUM PRANATA & TATA RUANG KOTA

PENGERTIAN HUKUM PRANATA

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, hukum adalah (1) peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; (2) undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; (3) patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yg tertentu; (4) keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan); vonis. Sedangkan Pranata adalah sistem tingkah laku sosial yg bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yg mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dl masyarakat; institusi. Pranata di bidang arsitektur dapat dikaji melalui pendekatan sistem, karena fenomena yang ada melibatkan banyak pihak dengan fungsi berbeda dan menciptakan anomaly yang berbeda sesuai kasus masing-masing atau Pranata dalam pengertian umum adalah interaksi antar individu/kelompok dalam kerangka peningkatan kesejahteraan atau kualitas hidup, dalam arti khusus bahwa terjadi interaksi antar aktor pelaku pembangunan untuk menghasilkan fisik ruang yang berkualitas. Pranata di bidang arsitektur dapat dikaji melalui pendekatan sistem, karena fenomena yang ada melibatkan banyak pihak dengan fungsi berbeda dan menciptakan anomaly yang berbeda sesuai kasus masing-masing.
Jadi, HUKUM PRANATA adalah hukum yang terdiri dari kaidah-kaidah atau peraturan dan intuisi atau pranata untuk melaksanakan kaidah tersebut.

STRUKTUR HUKUM PRANATA

Struktur Hukum Pranata di Indonesia :
1. Legislatif (MPR-DPR), pembuat produk hukum
2. Eksekutif (Presiden-pemerintahan), pelaksana perUU yg dibantu oleh Kepolisian (POLRI) selaku institusi yg berwenang melakukan penyidikan; JAKSA yg melakukan penuntutan
3. Yudikatif (MA-MK) sbg lembaga penegak keadilan
Mahkamah Agung (MA) beserta Pengadilan Tinggi (PT) & Pengadilan Negeri (PN) se-Indonesia mengadili perkara yg kasuistik; Sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengadili perkara peraturan PerUU
4. Lawyer, pihak yg mewakili klien utk berperkara di pengadilan, dsb.

CONTOH-CONTOH UMUM DAN STUDI BANDING

Contoh Kontrak Kerja Bidang Konstruksi :
Kontrak pelaksanaan pekerjaan pembangunan rumah sakit antara
CV. PEMATA EMAS
dengan
PT. KIMIA FARMA
Nomor : 1/1/2010
Tanggal : 25 November 2010
Pada hari ini Senin tanggal 20 November 2010 kami yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Richard Joe
Alamat : Jl. Merdeka Raya, Jakarta Barat
No. Telepon : 08569871000
Jabatan : Dalam hal ini bertindak atas nama CV. PEMATA EMAS disebut sebagai Pihak Pertama
Dan
Nama : Taufan Arif
Alamat : Jl. Ketapang Raya, Jakarta Utara
No telepon : 088088088
Jabatan : dalam hal ini bertindak atas nama PT. KIMIA FARMA disebut sebagai pihak kedua.
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatank ontrak pelaksanaan pekerjaan pembangunan Rumah Sakit yang dimiliki oleh pihak kedua yang terletak di Jl. Matraman no 9, Jakarta Timur.
Setelah itu akan dicantumkan pasal – pasal yang menjelaskan tentang tujuan kontrak,bentuk pekerjaan,sistem pekerjaan,sistem pembayaran,jangka waktu pengerjaan,sanksi-sanksi yang akan dikenakan apabila salah satu pihak melakukan pelanggaran kontrak kerja dan sebagainya.

RENCANA TATA RUANG MENURUT UU/24 TAHUN 1992

Dalam rangka menjaga serta mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan yang dinamis dengan perkembangan kependudukan, sekaligus agar dapat menjamin kelangsungan pembangunan nasional yang berkelanjutan, yang kemudian disempurnakan menjadi pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, maka dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tata guna serta sumber daya alam lainnya dalam satu kesatuan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang oleh pengelolaan perkembangan kependudukan yang serasi.
Melalui pendekatan kewilayahan, diketahui bahwa ryuang wilayah negara sebagai suatu sumber daya alam terdiri dari berbagai satu sub sistem. Seiring dengan maksud tersebut Undang-undang yang secara langsung berkaitan dengan penataan ruang saat ini adalah UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang dalam UU No.24/1992 untuk mewujudkan ruang-ruang yang lebih terorganisir. Penataan Ruang mengisyaratkan agar setiap kota menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota sebagai pedoman dalam pemanfaatan ruang bagi setiap kegiatan pembangunan. RTR Wilayah Kota merupakan rencana pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan dan pengendalian program-program pembangunan perkotaan jangka panjang.

Fungsi RTR Wilayah Kota adalah untuk menjaga konsistensi perkembangan kawasan perkotaan dengan strategi perkotaan nasional dan arahan RTRW Provinsi dalam jangka panjang, menciptakan keserasian perkembangan kota dengan wilayah sekitarnya, serta menciptakan keterpaduan pembangunan sektoral dan daerah.

Maraknya perumahan atau real estat di kawasan Depok tampaknya tidak menyurutkan minat developer untuk terus membangun. Ini tidak lain karena masyarakat masih mendapatkan value dari Depok. Berbeda sekali dengan Bekasi atau Tangerang yang terbukti perumahan di sana sulit berkembang.
Kesalahan utama bukan pada pengembang atau keberadaan perumahan di kawasan Depok, tetapi lebih kepada tidak adanya penataan kota yang terencana di kawasan ini. Terbukti, dari data yang disebutkan di atas, pembangunan perumahan di sana belum melebihi ketentuan yang digariskan oleh pemerintah. Kelemahan yang jelas tampak adalah tiadanya akses jalan alternatif di samping harus diakui tidak ada integrasi kawasan perumahan. Setiap kawasan perumahan cenderung terpencar-pencar (scattered) dan berdiri sendiri. Terlepas dari kelemahan yang tampak, rasanya ke depan kita masih akan menyaksikan naiknya permintaan rumah utamanya kelas menengah atas. Ini karena tidak adanya penambahan signifikan perumahan di kota Jakarta, menyebabkan orang memilih rumah di Depok
Sebaiknya pemerintah tidak segera tanggap dan membenahi infrastruktur yang ada, utamanya jalan, selamanya kemacetan akan menjadi hambatan yang membebani kota Depok.


Sumber :

http://membangundepok.blogspot.com/2006/02/masalah-tata-ruang-kota-depok.html

http://arsitekturberkelanjutan.blogspot.com/







Kamis, 17 Februari 2011

ARSITEKTUR TRADISIONAL MOLOKU KIE RAHA "MALUKU UTARA"

Moloku Kie Raha atau yang lebih dikenal dengan "MALUKU UTARA" atau disingkat menjadi MalUt yang berarti Maluku Utara. mempunyai banyak kekayaan budaya yang merupakan aset bangsa Indonesia, Kekayaan budaya merupakan aset nasional Indonesia yang tidak ada duanya di dunia. Salah satu khazanah budaya yang menonjol adalah bangunan tradisional yang bentuknya beragam, arsitekturnya indah, dan setiap bangunan merepresentasikan kebudayaan daerah tertentu. Arsitektur tradisional merupakan identitas budaya suatu suku bangsa karena di dalamnya terkandung segenap perikehidupan masyarakatnya.
Arsitektur tradisional ini berkaitan erat dengan hunian atau tempat tinggal beserta bangunan pelengkapnya, seperti lumbung, tempat pemujaan, dan bangunan tambahan lainnya. Bangunan hunian didirikan menurut konsep, nilai dan norma-norma yang diwariskan nenek moyang.Namun demikian, seiring dengan perkembangan teknologi, karya arsitektural masa kini berkembang ke arah arsitektur modern. Perkembangan ini menyebabkan arsitektur tradisional mengalami transformasi yang cenderung meninggalkan keaslian, keunikan, dan keindahannya. Transformasi ini dialami oleh rumah tradisional Siko dan Pacei di Maluku Utara. Saat ini bangunan aslinya tidak ditemukan lagi. Oleh sebab itu, pelestarian arsitektur tradisional perlu dilakukan.

Maluku Utara yang terdiri dari gugusan pulau dan dihuni berbagai suku mempunyai bangunan tradisional yang khas. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bentuk rumah tradisional yang unik di setiap wilayahnya, misalnya rumah adat Sasadu atau rumah adat Folajikusesurabi. Kedua rumah adat ini merupakan bagian dari arsitektur tradisional Moloku Kie Raha. Moloku Kie Raha adalah nama adat dari Maluku Utara yang mengandung makna persaudaraan empat kerajaan, yaitu kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat dan juga beberapa penelitian sebelumnya ada indikasi bahwa meskipun bangunan tradisional di setiap wilayah itu memiliki ciri khas masing-masing, bangunan tradisional ini tetap memiliki persamaan filosofi. Oleh karena itu, rumah-rumah tradisional ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.

Bentuk bangunan

Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha memiliki bentuk yang khas di setiap daerah sesuai keadaan alam dan budaya masing-masing suku bangsa. Namun demikian, arsitektur tradisional ini masih memiliki kesamaan, yaitu sebagai perwujudan bentuk tubuh manusia yang terbagi dalam tiga bagian utama4-6 sebagai berikut:

· Kepala: bagian atap bangunan diibaratkan kepala manusia. Kepala manusia merupakan bagian tertinggi dan paling penting peranannya dalam struktur tubuh manusia. Keindahan penampilan seseorang juga tercermin dari bagian kepala, yaitu muka. Karakteristik ini dijadikan landasan filosofi pada bagian atap bangunan arsitektur tradisional Moloku Kie Raha dengan menganggap bahwa kepala bangunan sebagai bagian yang paling tinggi kedudukannya dan harus dihormati. Kepala atau atap harus menampilkan bentuk yang khas, dan mengandung nilai-nilai yang sakral.

· Badan: badan bangunan diibaratkan badan manusia. Badan bangunan merupakan inti bangunan yang meliputi dinding dan ruang yang terdiri dari sistem konstruksi, bahan, ornamen, dan pola penataan ruang.

· Kaki: pondasi bangunan diibaratkan kaki manusia yang harus mampu menjadi tumpuan dalam kondisi apapun. Kaki bangunan meliputi sistem struktur dan bahan pondasi.

"Filosofi tubuh manusia pada bangunan"

Dalam rumah adat Sasadu, misalnya, kepala bangunan dianalogikan sebagai perahu kesultanan (kagunga), dan di kedua ujung bubungan terdapat najung perahu (kalulu) sebagai haluan atau buritan. Bagi masyarakat setempat perahu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan sejarah perkembangan daerahnya karena perahu merupakan kendaraan perang untuk melawan musuh, kendaraan utama untuk mencari nafkah di laut, alat transportasi antarpulau, bahkan pada kondisi-kondisi tertentu perahu merupakan rumah sementara.

Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha juga menggunakan bagian-bagian tubuh manusia dewasa sebagai sistem satuan ukuran (measurement unit system), seperti tapak kaki, jengkal tangan, depa, dan tinggi badan. Sistem satuan ukuran ini masih digunakan hingga saat ini. Jika satuan ukuran ini diubah ke satuan Sistem Internasional agak sulit mendapatkan ukuran yang tepat karena sistem ukuran berdasarkan tubuh manusia sangat dipengaruhi oleh postur seseorang. Namun, sebagai perkiraan 1 kaki setara dengan ± 30 cm; 1 jengkal setara dengan ± 22.5 cm; 1 depa setara dengan ± 150 cm; tinggi badan diasumsikan ± 165 cm.

Pola keruangan umumnya terdiri atas ruang penerima tamu, kamar tidur, dan penyimpanan benda-benda pusaka atau adat. Umumnya dapur berada terpisah dari bangunan utama. Pada rumah Fala Kancing di Ternate, penempatan kamar tidur di sebelah kiri melambangkan letak jantung manusia yang berada di dada kiri.4 Bangunan tempat tinggal umumnya konsentris, yaitu terdiri dari bagian inti di tengah (bilik dalam) dan bagian luar yang mengelilingi bagian inti (bilik luar).3 Jumlah tiang rumah tradisional Moloku Kie Raha menunjukkan status sosial penghuninya. Misalnya rumah-rumah tradisional di Ternate, rumah yang memiliki 8 tiang pada bagian teras (bagian depan rumah) menandakan bahwa penghuni rumah berasal dari keluarga sultan, rumah yang memiliki 6 tiang menandakan rumah para jogubu (perdana menteri dan panglima dalam kesultanan), dan yang bertiang 4 menandakan rumah para fanyira (ketua adat atau marga/kepala kampung).

Ornamen atau ragam hias bangunan lebih banyak ditemukan pada bagunan yang digunakan untuk upacara adat seperti pada rumah tradisional Sasadu. Pada tiang ruamah adat Sasadu terdapat ukiran bermotif hewan (kura-kura, ular, dan ikan) dan tumbuhan (bunga dan dedaunan). Rumah keluarga Sultan Ternate juga mempunyai ornamen di atas pintu dan jendela berupa ukiran motif bunga.
Konstruksi bangunan

Pondasi

Rumah tradisional Moloku Kie Raha umumnya menggunakan pondasi susunan batu (sengkedan) dan pondasi kayu yang ditinggikan di atas umpak batu. Jenis pondasi yang digunakan disesuaikan dengan lokasi bangunan dan kondisi lahan. Di daerah pegunungan, pondasi rumah umumnya menggunakan pondasi kayu dengan umpak batu utuh. Kayu yang ditinggikan di atas batu ini menciptakan lantai yang tinggi sehingga dapat membentuk rumah panggung. Maksud penggunaan jenis pondasi ini adalah untuk menyesuaikan dengan kontur tanah yang miring dan perlindungan terhadap ancaman binatang buas. Sedangkan di daerah landai, lembah, atau tepi pantai pondasinya menggunakan susunan batu tanpa perekat (spesi). Lantai bangunan dengan pondasi jenis ini tidak ditinggikan karena lebih praktis, dan kondisi lahannya juga tidak berkontur. Pada perkembangan selanjutnya, pondasi yang menggunakan batu kali dengan perekat dari kelero, yaitu berupa campuran hasil pembakaran batu kapur atau batu karang. Dinding terbuat dari campuran kerikil, pasir, dan kalero. Bagian tengah dinding terdapat tulangan dari bilah-bilah bambu.

Badan bangunan

Badan bangunan rumah tradisional Moloku Kie Raha meliputi dinding dan ruang bangunan yang mencakup konstruksi, bahan, dan ornamen. Konstruksi dindingnya berupa rangka (skeleton) yang menggunakan sambungan sistem pasak atau pengikat dari tali ijuk. Ada juga yang menggunakan rangka sistem bongkar pasang (knock-down) sehingga memungkinkan untuk dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Dinding terbuat dari anyaman bambu atau susunan batang ijuk dengan posisi vertikal. Setiap lembaran dinding diperkuat dengan tiang kayu atau bambu). Bahan dinding dari bambu yang mengunakan sambungan kombinasi antara pasak dan ikatan gumutu (tali ijuk) dapat ditemukan pada rumah Fala Boga di Ternate.

Atap

Bentuk atap rumah-rumah tradisional bervariasi, di daerah Ternate dikenal dengan nama Fala Boga yang berarti rumah beratap patah atau bengkok (lihat Gambar 5a). Ini berbeda dengan atap rumah adat Sasadu, atap merupakan perwujudan perahu kesultanan (kagunga) dan terdapat najung perahu (kalulu) pada kedua ujung bubungan (lihat Gambar 5bd). Atap rumah bangsawan daerah Ternate lebih tinggi daripada atap rumah rakyat biasa, rumah rakyat biasa ketinggian tiang rajanya tidak lebih dari ¼ lebar bangunan, seperti pada Fala Kancing. Tiang raja memliki makna dan arti bagi masing-masing daerah, pada rumah Fala Kancing terdapat tiga buah tiang raja sebagai simbol hubungan kepada Tuhan dan kepada kedua orangtua.

Struktur rangka atap umumnya menggunakan kayu, namun ada pula yang menggunakan bambu dengan sistem rangka yang menyatu dengan rangka dinding. Bahan penutup atap menggunakan daun sagu atau ijuk. Helai-helai daun sagu disusun dan ditekuk secara sederhana pada sebilah bambu yang telah dikeringkan sehingga membentuk persegi panjang menyerupai bentuk sisir.4,5 Bentuk ini memberikan kesan yang berirama, alami dan indah. Panjang atap daun sagu adalah satu depa atau sekitar 1.5 meter.

Sumber: oleh_Mustamin Rahim, Teknik Arsitektur, Universitas Khairun Ternate, Indonesia
URL:http://io.ppijepang.org/v2/index.php?option=com_k2&view=item&id=377:identifikasi-bentuk-arsitektur-tradisional-moloku-kie-raha diunduh pada 17 Februari 2011
Laporan Pra-Penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia. Jurusan llmu-ilmu Sejarah Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1978-1979.

Rabu, 16 Februari 2011

GLOBALISASI

Globalisasi adalah suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Globalisasi ekonomi membawa dampak positif maupun negatif.

Dampak globalisasi biasanya akan muncul dan berkembang, seolah-olah merupakan kemauan alam (seperti tidak direncanakan)/atau dampak dari karya manusiayang tidak memperdulikan apa yang telah mereka lakukan, dan datangnya pun dengan tiba-tiba dan bersifat memaksa serta tidak mungkin dibendung lagi.
Biasanya dampak negatif dari globalisasi dapat langsung dirasakan, karena itu berhubungan dengan keadaan sehari hari atau sekitar kita, hal ini diakibat ole ulah para penghuni bumi, yang tidak peduli terhadap bumi itu sendiri.

Dampak negatif dari sutu globalisai adalah perubahan suasana yang terjadi pada dunia ini yang mulai terasa. Mulai dari udara yang sangat panas hingga banyaknya bencana yang terjadi akibat dari pada perbuatan manusia itu sendiri.

Tidak semua globalisasi itu memberi dampak negatif, ada beberapa dampak positif pada bidang ekonomi. Antara lain yaitu
Semakin terbukanya pasar untuk produk-produk ekspor, dengan catatan produk ekspor Indonesia mampu bersaing di pasar internasional. Hal ini membuka kesempatan bagi pengusaha di Indonesia untuk melahirkan produk-produk berkualitas, kreatif, dan dibutuhkan oleh pasar dunia. dan masih banyak lainnya yang dapat kita rasakan saat ini.

sumber: google

Selasa, 11 Januari 2011

ARSITEKTUR TROPIS

ARSITEKTUR TROPIS DI INDONESIA

Konsep rumah tropis, pada dasarnya adalah adaptasi bangunan terhadap iklim tropis, dimana kondisi tropis membutuhkan penanganan khusus dalam desainnya.

Salah satu alasan mengapa manusia membuat bangunan adalah karena kondisi alam iklim tempat manusia berada tidak selalu baik menunjang aktivitas yang dilakukannya. Aktivitas manusia yang bervariasi memerlukan kondisi iklim sekitar tertentu yang bervariasi pula. Untuk melangsungkan aktivitas kantor, misalnya, diperlukan ruang dengan kondisi visual yang baik dengan intensitas cahaya yang cukup; kondisi termis yang mendukung dengan suhu udara pada rentang-nyaman tertentu; dan kondisi audial dengan intensitas gangguan bunyi rendah yang tidak mengganggu pengguna bangunan.
Karena cukup banyak aktivitas manusia yang tidak dapat diselenggarakan akibat ketidaksesuaian kondisi iklim luar, manusia membuat bangunan. Dengan bangunan, diharapkan iklim luar yang tidak menunjang aktivitas manusia dapat dimodifikasidiubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang lebih sesuai.
Usaha manusia untuk mengubah kondisi iklim luar yang tidak sesuai menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai seringkali tidak seluruhnya tercapai. Dalam banyak kasus, manusia di daerah tropis seringkali gagal menciptakan kondisi termis yang nyaman di dalam bangunan. Ketika berada di dalam bangunan, pengguna bangunan justru seringkali merasakan udara ruang yang panas, sehingga kerap mereka lebih memilih berada di luar bangunan.

Pada saat arsitek melakukan tindakan untuk menanggulangi persoalan iklim dalam bangunan yang dirancangnya, ia secara benar mengartikan bahwa bangunan adalah alat untuk memodifikasi iklim. Iklim luar yang tidak sesuai dengan tuntutan penyelenggaraan aktivitas manusia dicoba untuk diubah menjadi iklim dalam (bangunan) yang sesuai. Para arsitek yang kebetulan hidup, belajar dan berprofesi di negara beriklim sub-tropis, secara sadar atau tidakatau karena aturan membangun setempatkerap melakukan tindakan yang benar. Karya arsitektur yang mereka rancang selalu didasari pertimbangan untuk memecahkan permasalahan iklim setempat yang bersuhu rendah. Bangunan dibuat dengan dinding rangkap yang tebal, dengan penambahan bahan isolasi panas di antara kedua lapisan dinding sehingga panas di dalam bangunan tidak mudah dirambatkan ke udara luar.
Meskipun mereka melakukan tindakan perancangan guna mengatasi iklim sub-tropis setempat, karya mereka tidak pernah disebut sebagai karya arsitektur sub-tropis, melainkan sebagai arsitektur Victorian, Georgian dan Tudor; sementara sebagian karya yang lain diklasifikasikan sebagai arsitektur modern (modern architecture), arsitektur pasca-modern (post-modern architecture), arsitektur modern baru (new modern architecture), arsitektur teknologi tinggi (high-tech architecture), dan arsitektur dekonstruksi (deconstruction architecture).

Di sini terlihat bahwa arsitektur yang dirancang guna mengatasi masalah iklim setempat tidak selalu diberi sebutan arsitektur iklim tersebut, karena pemecahan problematik iklim merupakan suatu tuntutan mendasar yang 'wajib' dipenuhi oleh suatu karya arsitektur di manapun dia dibangun. Sebutan tertentu pada suatu karya arsitektur hanya diberikan terhadap ciri tertentu karya tersebut yang kehadirannya 'tidak wajib', serta yang kemudian memberi warna atau corak pada arsitektur tersebut. Sebut saja arsitektur yang 'bersih' tanpa embel-embel dekorasi, yang bentuknya tercipta akibat fungsi (form follows function) disebut arsitektur modern. Arsitektur dengan penyelesaian estetika tertentuyang antara lain menyangkut bentuk, ritme dan aksentuasidiklasifikasikan (terutama oleh Charles Jencks) ke dalam berbagai nama, seperti halnya arsitektur pasca-modern, modern baru dan dekonstruksi. Semua karya arsitektur tersebut tidak pernah diberi julukan 'arsitektur sub-tropis' meskipun karya tersebut dirancang di daerah iklim sub-tropis guna mengantisipasi masalah iklim tersebut.

Kemudian mengapa muncul sebutan arsitektur tropis? Seolah-olah jenis arsitektur ini sepadan dengan julukan bagi arsitektur modern, modern baru dan dekonstruksi. Jenis yang disebut belakangan lebih mengarah pada pemecahan estetika seperti bentuk, ritme dan hirarki ruang. Sementara arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub-tropis, adalah karya arsitektur yang mencoba memecahkan problematik iklim setempat.
Bagaimana problematik iklim tropis tersebut dipecahkan secara desain atau rancangan arsitektur? Jawabannya dapat seribu satu macam. Seperti halnya yang terjadi pada arsitektur sub-tropis, arsitek dapat menjawab dengan warna pasca-modern, dekonstruksi ataupun High-Tech, sehingga pemahaman tentang arsitektur tropis yang selalu beratap lebar ataupun berteras menjadi tidak mutlak lagi. Yang penting apakah rancangan tersebut sanggup mengatasi problematik iklim tropishujan deras, terik radiasi matahari, suhu udara yang relatif tinggi, kelembapan yang tinggi (untuk tropis basah) ataupun kecepatan angin yang relatif rendahsehingga manusia yang semula tidak nyaman berada di alam terbuka, menjadi nyaman ketika berada di dalam bangunan tropis itu. Bangunan dengan atap lebar mungkin hanya mampu mencegah air hujan untuk tidak masuk bangunan, namun belum tentu mampu menurunkan suhu udara yang tinggi dalam bangunan tanpa disertai pemecahan rancangan lain yang tepat.

Dengan pemahaman semacam ini, kemungkinan bentuk arsitektur tropis, sebagaimana arsitektur sub-tropis, menjadi sangat terbuka. Ia dapat bercorak atau berwarna apa saja sepanjang bangunan tersebut dapat mengubah kondisi iklim luar yang tidak nyaman, menjadi kondisi yang nyaman bagi manusia yang berada di dalam bangunan itu. Dengan pemahaman semacam ini pula, kriteria arsitektur tropis tidak perlu lagi hanya dilihat dari sekedar 'bentuk' atau estetika bangunan beserta elemen-elemennya, namun lebih kepada kualitas fisik ruang yang ada di dalamnya: suhu ruang rendah, kelembapan relatif tidak terlalu tinggi, pencahayaan alam cukup, pergerakan udara (angin) memadai, terhindar dari hujan, dan terhindar dari terik matahari. Penilaian terhadap baik atau buruknya sebuah karya arsitektur tropis harus diukur secara kuantitatif menurut kriteria-kriteria fluktuasi suhu ruang (dalam unit derajat Celcius); fluktuasi kelembapan (dalam unit persen); intensitas cahaya (dalam unit lux); aliran atau kecepatan udara (dalam unit meter per detik); adakah air hujan masuk bangunan; serta adakah terik matahari mengganggu penghuni dalam bangunan. Dalam bangunan yang dirancang menurut kriteria seperti ini, pengguna bangunan dapat merasakan kondisi yang lebih nyaman dibanding ketika mereka berada di alam luar.

Penulis menganggap bahwa definisi atau pemahaman tentang arsitektur tropis di Indonesia hingga saat ini cenderung keliru. Arsitektur tropis sering sekali dibicarakan, didiskusikan, diseminarkan dan diperdebatkan oleh mereka yang memiliki keahlian dalam bidang sejarah atau teori arsitektur. Arsitektur tropis seringkali dilihat dari konteks 'budaya'. Padahal kata 'tropis' tidak ada kaitannya dengan budaya atau kebudayaan, melainkan berkaitan dengan 'iklim'. Pembahasan arsitektur tropis harus didekati dari aspek iklim. Mereka yang mendalami persoalan iklim dalam arsitekturpersoalan yang cenderung dipelajari oleh disiplin ilmu sains bangunan (fisika bangunan)akan dapat memberikan jawaban yang lebih tepat dan terukur secara kuantitatif. Mereka yang dianggap ahli dalam bidang arsitektur tropisKoenigsberger, Givoni, Kukreja, Sodha, Lippsmeier dan Nick Bakermemiliki spesialisasi keilmuan yang berkaitan dengan sains bangunan, bukan ilmu sejarah atau teori arsitektur.

Kekeliruan pemahaman mengenai arsitektur tropis di Indonesia nampaknya dapat dipahami, karena pengertian arsitektur tropis sering dicampuradukkan dengan pengertian 'arsitektur tradisional' di Indonesia, yang memang secara menonjol selalu dipecahkan secara tropis. Pada masyarakat tradisional, iklim sebagai bagian dari alam begitu dihormati bahkan dikeramatkan, sehingga pertimbangan iklim amat menonjol pada karya arsitektur tersebut. Manusia Indonesia cenderung akan membayangkan bentuk-bentuk arsitektur tradisional Indonesia ketika mendengar istilah arsitektur tropis. Dengan bayangan iniyang sebetulnya tidak seluruhnya benarpembicaraan mengenai arsitektur tropis akan selalu diawali. Dari sini pula pemahaman mengenai arsitektur tropis lalu memiliki konteks dengan budaya, yakni kebudayaan tradisional Indonesia. Hanya mereka yang mendalami ilmu sejarah dan teori arsitektur yang mampu berbicara banyak mengenai budaya dalam kaitannya dengan arsitektur, sementara arsitektur tropis (basah) tidak hanya terdapat di Indonesia, akan tetapi di seluruh negara yang beriklim tropis (basah) dengan budaya yang berbeda-beda, sehingga pendekatan arsitektur tropis dari aspek budaya menjadi tidak relevan.

Dari uraian di atas, perlu ditekankan kembali bahwa pemecahan rancangan arsitektur tropis (basah) pada akhirnya sangatlah terbuka. Arsitektur tropis dapat berbentuk apa sajatidak harus serupa dengan bentuk-bentuk arsitektur tradisional yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia, sepanjang rancangan bangunan tersebut mengarah pada pemecahan persoalan yang ditimbulkan oleh iklim tropis seperti terik matahari, suhu tinggi, hujan dan kelembapan tinggi.

SUMBER google '' Arsitektur Tropis Indonesia''

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR

PERAN DAN TANTANGAN DUNIA ARSITEKTUR

Dalam membahas validitas posisi yang dimiliki arsitektur, peran dan tantangan dunia arsitektur pada masa mendatang adalah cukup bijaksana bila kita menempatkannya pertama sekali dalam suatu kerangka waktu. Jika ditinjau dalam rentang WaktU 1980 sampai masa sekarang ini maka perkembangan masalah dan isu-isu lingkungan binaan (Arsitektur) cukup rumit. Untuk jangka waktu ke depan pun sudah barang tentu masalah yang dihadapi semakin rumit dengan segala aspek yang terkait didalamnya. Apa yang diresahkan saat ini oleh para praktisi arsitektur di Indonesia adalah situasi dimana dirasakan ada keterbatasan pemahaman perbendaharaan "kata" Arsitektur itu sendiri terutama didalam menanggapi tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat yang berhubungan dengan lingkungan binaannya. Bila ditinjau dalam perspektif waktu antara tahun 1960-an dan masa sekarang, Arsitektur kelihatan telah berubah dari suatu gerakan yang menentang estetika dan parameter-parameter sosial kepada suatu kondisi yang menginginkan status quo. Hal ini terutama berkaitan dengan kecenderungan untuk menolak bentuk-bentuk formal dan kemapanan sosial dalam masyarakat modern. Apa yang jelas terlihat disini adalah Arsitektur berusaha untuk menyajikan suatu bahasa formal yang berlaku umum yang terkadang bersifat figuratif dan ekletis. Beberapa tema-tema arsitektur digali seperti: Postmodernism; Regionalism;Deconstructionism; Neo-modernism dan lain sebagainya, semua ini dimaksudkan untuk membuat Arsitektur sebagai "alat ekspresi budaya" Disini terlihat bahwa praktisi arsitektur kontemporer cenderung mencari bentuk-bentuk pembenaran ideologinya. Arsitektur tidak lagi dalam kerangka pemikiran yang berusaha mengekspresikan arti tersirat dari suatu bentuk produk tetapi lebih kepada makna yang terlihat sesaat. Kritik dan debat dalam dunia arsitektur berkisar diantara berbagai macam tema-tema tersebut sehingga perkembangan arsitektur banyak dipengaruhi kampanye dari beragam ideologi. Perkembangan diatas berpengaruh besar terhadap profesi arsitek. Terjadi perubahan dari Arsitek yang secara tradisional dikenal sebagai "master builder" yang secara estetis sangat puritan kepada arsitek sebagai "trendsetter". Situasi ini sebenarnya sangat berkaitan dengan perkembangan sosial dan ekonomi yang terjadi di masyarakat modern dimana segala perangkat kapital lebih menekankan suatu sistem yang cepat dan serba instant. Jelas keadaan ini berpengaruh pada masyarakat dengan tidak peduli pada arti hakiki yang tersirat dan suatu bentuk produk tetapi lebih terpaku pada makna yang terlihat layaknya melihat beragam gaya kemasan produk komoditi. Apa yang berlaku pada arsitektur juga adalah suatu skenario dimana arsitektur telah menjelma menjadi bagian integral dari sistem beroperasinya instrumen kapital. Dalam hal ini arsitektur itu sendiri menjadi bagian yang tak terpisahkan dari barang konsumsi dengan berbagai macam "style" yang berkompetisi dipasaran. Tidaklah salah seperti dikatakan Ventury (1966) bahwa peranan arsitektur akan menjadi berkurang sejalan dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat modern. Yang harus menjadi perhatian utama para praktisi arsitektur sekarang ini adalah : peranan apa yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi kekuatan kapital dalam 'pasar' jasa arsitektur. Ada kekhawatiran yang timbul saat ini tentang kemampuan para praktisi
Arsitektur untuk mampu beradaptasi dalam persaingan ketat pada 'pasar' pengguna jasa Arsitektur. Menghubungkan arsitektur dengan kecenderungan perkembangan ekonomi saat ini adalah suatu pekerjaan yang sulit. Interaksi antara Arsitektur dan perkembangan ekonomi dapat dilihat dari dua sisi pandang yang berbeda. Pertama berkaitan dengan peranan Arsitektur didalam perkembangan ekonomi. Kedua peranan Arsitektur sebagai objek budaya. Bila dibandingkan dengan objek budaya lainnya seperti lukisan, musik, maupun karya sastra jelas Arsitektur sangat berbeda dalam hal besarnya biaya-biaya yang terpaut didalamnya . Walaupun tentu setiap bentuk karya seni dapat mengekspresikan pengaruh 'pasar', akan tetapi Arsitektur sebagai bentuk karya seni sangat tergantung kepada sumber daya ekonomi dan kekuatan politik jauh sampai keseluruh bagian proses perancangan seperti: pemilihan site, program, budget, bahan, schedule. Parameter-parameter ekonomi ini sangat membatasi peran 'transgresif' dan 'transformatif' yang dimiliki arsitek.
Walaupun demikian, situasi ini tentu masih memberi peluang untuk membuat perubahan didalam proses perencanaan dan perancangan arsitektur. Disini Arsitektur perlu menghindari kesalahan dalam hal cenderung tetap memandang peran tradisionalnya sebagai 'master builder'. Adalah kenyataan bahwa secara tradisi arsitek selalu berada ditampuk pimpinan pada tim-tim proyek Arsitektur. Akan tetapi sekarang ini ada kecenderungan dimana pemberi tugas terutama yang berskala besar lebih tergantung pada manajer bangunan dari pada Arsitek. lni erat kaitannya dengan perkembangan ekonomi masyarakat yang mempengaruhi pola-pola hubungan kerja antara arsitek dan masyarakat. Yang penting untuk dicamkan sekarang adalah bagaimana agar arsitektur dapat menyatu dengan sistem ekonomi yang berkembang. Oleh sebab itu praktisi arsitektur harus dapat meningkatkan kemampuan dan pemahamannya akan proses-proses ekonomi yang terjadi sejalan dengan usahanya didalam pembentukan lingkungan binaan.
Situasi diatas memberikan suatu gambaran bahwa validitas posisi yang dimiliki arsitektur sesungguhnya tergantung pada pengembangan strateginya sendiri yang dapat sejalan dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi begitu cepat didalam masyarakat modern sekarang ini. Peranan Arsitektur yang diharapkan dalam skenario ini adalah harus lebih bersifat sebagai jasa industri dan berbeda dengan peranan tradisionalnya. Sudah barang tentu ini akan mengubah sikap dan etos kerja di dalam dunia arsitektur secara substansial yaitu perubahan yang menempatkan arsitektur terserap didalam proses-proses ekonomi yang berkembang didalam komunitas.
Kendala yang mungkin terjadi dari skenario diatas saat ini adalah kurangnya pemahaman mengenai tantangan-tantangan baru dan peluang-peluang baru yang berkembang diseputar arsitektur itu sendiri. Kekurangan terhadap hal-hal tesebut akan mengakibatkan arsitektur terperangkap dalam bentuk-bentuk solusi perancangan yang bersifat figuratif. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan bahwa perangkat operasi dari kapitalisme dan konsumerisme telah membawa arsitektur kedalam ekletisme Adalah cukup relevan untuk dicermati saat ini tentang kemungkinan peranan Arsitektur di masa mendatang. Arsitektur sebagai agen perubahan harus sejalan dengan sistem nilai-nilai baru dan etos kerja baru yang berkembang pada komunitas. Yang penting adalah bahwa solusi arsitektur yang muncul harus diputuskan berdasarkan sumbangannya pada masyarakat keseluruhan. Oleh karena itu dibutuhkan arsitektur sebagai bagian dari inftastruktur dan jasa.

SUMBER google ''Validitas Posisi Yang Dimiliki Arsitektur''
NELSON SIAHAAN
Fakultas Teknik
Universitas Sumatera Utara

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang Mahasiswi yang berusaha untuk menjadi yang terbaik dan bisa membanggakan orang tua serta membahagiakan keluarga.