Kamis, 17 Februari 2011

ARSITEKTUR TRADISIONAL MOLOKU KIE RAHA "MALUKU UTARA"

Moloku Kie Raha atau yang lebih dikenal dengan "MALUKU UTARA" atau disingkat menjadi MalUt yang berarti Maluku Utara. mempunyai banyak kekayaan budaya yang merupakan aset bangsa Indonesia, Kekayaan budaya merupakan aset nasional Indonesia yang tidak ada duanya di dunia. Salah satu khazanah budaya yang menonjol adalah bangunan tradisional yang bentuknya beragam, arsitekturnya indah, dan setiap bangunan merepresentasikan kebudayaan daerah tertentu. Arsitektur tradisional merupakan identitas budaya suatu suku bangsa karena di dalamnya terkandung segenap perikehidupan masyarakatnya.
Arsitektur tradisional ini berkaitan erat dengan hunian atau tempat tinggal beserta bangunan pelengkapnya, seperti lumbung, tempat pemujaan, dan bangunan tambahan lainnya. Bangunan hunian didirikan menurut konsep, nilai dan norma-norma yang diwariskan nenek moyang.Namun demikian, seiring dengan perkembangan teknologi, karya arsitektural masa kini berkembang ke arah arsitektur modern. Perkembangan ini menyebabkan arsitektur tradisional mengalami transformasi yang cenderung meninggalkan keaslian, keunikan, dan keindahannya. Transformasi ini dialami oleh rumah tradisional Siko dan Pacei di Maluku Utara. Saat ini bangunan aslinya tidak ditemukan lagi. Oleh sebab itu, pelestarian arsitektur tradisional perlu dilakukan.

Maluku Utara yang terdiri dari gugusan pulau dan dihuni berbagai suku mempunyai bangunan tradisional yang khas. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bentuk rumah tradisional yang unik di setiap wilayahnya, misalnya rumah adat Sasadu atau rumah adat Folajikusesurabi. Kedua rumah adat ini merupakan bagian dari arsitektur tradisional Moloku Kie Raha. Moloku Kie Raha adalah nama adat dari Maluku Utara yang mengandung makna persaudaraan empat kerajaan, yaitu kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat dan juga beberapa penelitian sebelumnya ada indikasi bahwa meskipun bangunan tradisional di setiap wilayah itu memiliki ciri khas masing-masing, bangunan tradisional ini tetap memiliki persamaan filosofi. Oleh karena itu, rumah-rumah tradisional ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.

Bentuk bangunan

Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha memiliki bentuk yang khas di setiap daerah sesuai keadaan alam dan budaya masing-masing suku bangsa. Namun demikian, arsitektur tradisional ini masih memiliki kesamaan, yaitu sebagai perwujudan bentuk tubuh manusia yang terbagi dalam tiga bagian utama4-6 sebagai berikut:

· Kepala: bagian atap bangunan diibaratkan kepala manusia. Kepala manusia merupakan bagian tertinggi dan paling penting peranannya dalam struktur tubuh manusia. Keindahan penampilan seseorang juga tercermin dari bagian kepala, yaitu muka. Karakteristik ini dijadikan landasan filosofi pada bagian atap bangunan arsitektur tradisional Moloku Kie Raha dengan menganggap bahwa kepala bangunan sebagai bagian yang paling tinggi kedudukannya dan harus dihormati. Kepala atau atap harus menampilkan bentuk yang khas, dan mengandung nilai-nilai yang sakral.

· Badan: badan bangunan diibaratkan badan manusia. Badan bangunan merupakan inti bangunan yang meliputi dinding dan ruang yang terdiri dari sistem konstruksi, bahan, ornamen, dan pola penataan ruang.

· Kaki: pondasi bangunan diibaratkan kaki manusia yang harus mampu menjadi tumpuan dalam kondisi apapun. Kaki bangunan meliputi sistem struktur dan bahan pondasi.

"Filosofi tubuh manusia pada bangunan"

Dalam rumah adat Sasadu, misalnya, kepala bangunan dianalogikan sebagai perahu kesultanan (kagunga), dan di kedua ujung bubungan terdapat najung perahu (kalulu) sebagai haluan atau buritan. Bagi masyarakat setempat perahu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan sejarah perkembangan daerahnya karena perahu merupakan kendaraan perang untuk melawan musuh, kendaraan utama untuk mencari nafkah di laut, alat transportasi antarpulau, bahkan pada kondisi-kondisi tertentu perahu merupakan rumah sementara.

Arsitektur tradisional Moloku Kie Raha juga menggunakan bagian-bagian tubuh manusia dewasa sebagai sistem satuan ukuran (measurement unit system), seperti tapak kaki, jengkal tangan, depa, dan tinggi badan. Sistem satuan ukuran ini masih digunakan hingga saat ini. Jika satuan ukuran ini diubah ke satuan Sistem Internasional agak sulit mendapatkan ukuran yang tepat karena sistem ukuran berdasarkan tubuh manusia sangat dipengaruhi oleh postur seseorang. Namun, sebagai perkiraan 1 kaki setara dengan ± 30 cm; 1 jengkal setara dengan ± 22.5 cm; 1 depa setara dengan ± 150 cm; tinggi badan diasumsikan ± 165 cm.

Pola keruangan umumnya terdiri atas ruang penerima tamu, kamar tidur, dan penyimpanan benda-benda pusaka atau adat. Umumnya dapur berada terpisah dari bangunan utama. Pada rumah Fala Kancing di Ternate, penempatan kamar tidur di sebelah kiri melambangkan letak jantung manusia yang berada di dada kiri.4 Bangunan tempat tinggal umumnya konsentris, yaitu terdiri dari bagian inti di tengah (bilik dalam) dan bagian luar yang mengelilingi bagian inti (bilik luar).3 Jumlah tiang rumah tradisional Moloku Kie Raha menunjukkan status sosial penghuninya. Misalnya rumah-rumah tradisional di Ternate, rumah yang memiliki 8 tiang pada bagian teras (bagian depan rumah) menandakan bahwa penghuni rumah berasal dari keluarga sultan, rumah yang memiliki 6 tiang menandakan rumah para jogubu (perdana menteri dan panglima dalam kesultanan), dan yang bertiang 4 menandakan rumah para fanyira (ketua adat atau marga/kepala kampung).

Ornamen atau ragam hias bangunan lebih banyak ditemukan pada bagunan yang digunakan untuk upacara adat seperti pada rumah tradisional Sasadu. Pada tiang ruamah adat Sasadu terdapat ukiran bermotif hewan (kura-kura, ular, dan ikan) dan tumbuhan (bunga dan dedaunan). Rumah keluarga Sultan Ternate juga mempunyai ornamen di atas pintu dan jendela berupa ukiran motif bunga.
Konstruksi bangunan

Pondasi

Rumah tradisional Moloku Kie Raha umumnya menggunakan pondasi susunan batu (sengkedan) dan pondasi kayu yang ditinggikan di atas umpak batu. Jenis pondasi yang digunakan disesuaikan dengan lokasi bangunan dan kondisi lahan. Di daerah pegunungan, pondasi rumah umumnya menggunakan pondasi kayu dengan umpak batu utuh. Kayu yang ditinggikan di atas batu ini menciptakan lantai yang tinggi sehingga dapat membentuk rumah panggung. Maksud penggunaan jenis pondasi ini adalah untuk menyesuaikan dengan kontur tanah yang miring dan perlindungan terhadap ancaman binatang buas. Sedangkan di daerah landai, lembah, atau tepi pantai pondasinya menggunakan susunan batu tanpa perekat (spesi). Lantai bangunan dengan pondasi jenis ini tidak ditinggikan karena lebih praktis, dan kondisi lahannya juga tidak berkontur. Pada perkembangan selanjutnya, pondasi yang menggunakan batu kali dengan perekat dari kelero, yaitu berupa campuran hasil pembakaran batu kapur atau batu karang. Dinding terbuat dari campuran kerikil, pasir, dan kalero. Bagian tengah dinding terdapat tulangan dari bilah-bilah bambu.

Badan bangunan

Badan bangunan rumah tradisional Moloku Kie Raha meliputi dinding dan ruang bangunan yang mencakup konstruksi, bahan, dan ornamen. Konstruksi dindingnya berupa rangka (skeleton) yang menggunakan sambungan sistem pasak atau pengikat dari tali ijuk. Ada juga yang menggunakan rangka sistem bongkar pasang (knock-down) sehingga memungkinkan untuk dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Dinding terbuat dari anyaman bambu atau susunan batang ijuk dengan posisi vertikal. Setiap lembaran dinding diperkuat dengan tiang kayu atau bambu). Bahan dinding dari bambu yang mengunakan sambungan kombinasi antara pasak dan ikatan gumutu (tali ijuk) dapat ditemukan pada rumah Fala Boga di Ternate.

Atap

Bentuk atap rumah-rumah tradisional bervariasi, di daerah Ternate dikenal dengan nama Fala Boga yang berarti rumah beratap patah atau bengkok (lihat Gambar 5a). Ini berbeda dengan atap rumah adat Sasadu, atap merupakan perwujudan perahu kesultanan (kagunga) dan terdapat najung perahu (kalulu) pada kedua ujung bubungan (lihat Gambar 5bd). Atap rumah bangsawan daerah Ternate lebih tinggi daripada atap rumah rakyat biasa, rumah rakyat biasa ketinggian tiang rajanya tidak lebih dari ¼ lebar bangunan, seperti pada Fala Kancing. Tiang raja memliki makna dan arti bagi masing-masing daerah, pada rumah Fala Kancing terdapat tiga buah tiang raja sebagai simbol hubungan kepada Tuhan dan kepada kedua orangtua.

Struktur rangka atap umumnya menggunakan kayu, namun ada pula yang menggunakan bambu dengan sistem rangka yang menyatu dengan rangka dinding. Bahan penutup atap menggunakan daun sagu atau ijuk. Helai-helai daun sagu disusun dan ditekuk secara sederhana pada sebilah bambu yang telah dikeringkan sehingga membentuk persegi panjang menyerupai bentuk sisir.4,5 Bentuk ini memberikan kesan yang berirama, alami dan indah. Panjang atap daun sagu adalah satu depa atau sekitar 1.5 meter.

Sumber: oleh_Mustamin Rahim, Teknik Arsitektur, Universitas Khairun Ternate, Indonesia
URL:http://io.ppijepang.org/v2/index.php?option=com_k2&view=item&id=377:identifikasi-bentuk-arsitektur-tradisional-moloku-kie-raha diunduh pada 17 Februari 2011
Laporan Pra-Penelitian Sejarah Arsitektur Indonesia. Jurusan llmu-ilmu Sejarah Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1978-1979.

Rabu, 16 Februari 2011

GLOBALISASI

Globalisasi adalah suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Globalisasi ekonomi membawa dampak positif maupun negatif.

Dampak globalisasi biasanya akan muncul dan berkembang, seolah-olah merupakan kemauan alam (seperti tidak direncanakan)/atau dampak dari karya manusiayang tidak memperdulikan apa yang telah mereka lakukan, dan datangnya pun dengan tiba-tiba dan bersifat memaksa serta tidak mungkin dibendung lagi.
Biasanya dampak negatif dari globalisasi dapat langsung dirasakan, karena itu berhubungan dengan keadaan sehari hari atau sekitar kita, hal ini diakibat ole ulah para penghuni bumi, yang tidak peduli terhadap bumi itu sendiri.

Dampak negatif dari sutu globalisai adalah perubahan suasana yang terjadi pada dunia ini yang mulai terasa. Mulai dari udara yang sangat panas hingga banyaknya bencana yang terjadi akibat dari pada perbuatan manusia itu sendiri.

Tidak semua globalisasi itu memberi dampak negatif, ada beberapa dampak positif pada bidang ekonomi. Antara lain yaitu
Semakin terbukanya pasar untuk produk-produk ekspor, dengan catatan produk ekspor Indonesia mampu bersaing di pasar internasional. Hal ini membuka kesempatan bagi pengusaha di Indonesia untuk melahirkan produk-produk berkualitas, kreatif, dan dibutuhkan oleh pasar dunia. dan masih banyak lainnya yang dapat kita rasakan saat ini.

sumber: google

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang Mahasiswi yang berusaha untuk menjadi yang terbaik dan bisa membanggakan orang tua serta membahagiakan keluarga.